Cerita Dewasa Pemerkosaan Kasir Swalayan | Cerita Panas | Cerita Hot - Desy
yang masih berumur 25 tahun tidak menyadari bahayanya bekerja sebagai
kasir di sebuah toko serba ada di Jakarta. Dengan semangat dan keinginan
untuk mandiri membuat dirinya tidak mempedulikan nasehat orang tuanya
yang merasa risau melihat putriya sering mendapat giliran jaga dari
malam hingga pagi. Desy lebih memilih bekerja pada shift tersebut,
karena dari saat tengah malam sampai pagi, jarang sekali ada pembeli,
sehingga Desy bisa belajar untuk kuliahnya siang nanti.
Sampai
akhirnya pada suatu malam, Desy mendapati dirinya ditodong oleh sepucuk
pistol tepat di depan matanya. Yang berambut Gondrong, dan yang satu
lagi berkumis tebal. Mereka berdua, menerobos masuk membuat Desy yang
sedang berkonsentrasi pada bukunya terkejut.
“Keluarin
uangnya!” perintah si Gondrong, sementara si Kumis memutuskan semua
kabel video dan telepon yang ada di toko itu. Tangan Desy gemetar
berusaha membuka laci kasir yang ada di depannya, saking takutnya kunci
itu sampai terjatuh beberapa kali. Setelah beberapa saat, Desy berhasil
membuka laci itu dan memerikan semua uang yang ada di dalamnya, sebanyak
100 ribu kepada si Gondrong, Desy tidak diperkenankan menyimpan uang
lebih dari 100 ribu di laci tersebut. Karena itu setiap kelebihannya
langsung dimasukan ke lemari besi. Setelah si Gondrong merampas uang
itu, Desy langsung mundur ke belakang, ia sangat ketakutan kakinya
lemas, hampir jatuh.
“Masa cuma segini?!” bentak si Gondrong.
“Buka lemari besinya! Sekarang!” Mereka berdua menggiring Desy masuk ke kantor manajernya dan mendorongnya hingga jatuh berlutut di hadapan lemari besi. Desy mulai menangis, ia tidak tahu nomor kombinasi lemari besi itu, ia hanya menyelipkan uang masuk ke dalam lemari besi melalui celah pintunya.
“Buka lemari besinya! Sekarang!” Mereka berdua menggiring Desy masuk ke kantor manajernya dan mendorongnya hingga jatuh berlutut di hadapan lemari besi. Desy mulai menangis, ia tidak tahu nomor kombinasi lemari besi itu, ia hanya menyelipkan uang masuk ke dalam lemari besi melalui celah pintunya.
“Cepat!”
bentak si Kumis, Desy merasakan pistol menempel di belakang kepalanya.
Desy berusaha untuk menjelaskan kalau ia tidak mengetahui nomor lemari
besi itu. Untunglah, melihat mata Desy yang ketakutan, mereka berdua
percaya. “Brengsek! Nggak sebanding sama resikonya! Iket dia, biar dia
nggak bisa manggil polisi!” Desy di dudukkan di kursi manajernya dengan
tangan diikat ke belakang. Kemudian kedua kaki Desy juga diikat ke kaki
kursi yang ia duduki. si Kumis kemudian mengambil plester dan
menempelkannya ke mulut Desy.
“Beres! Ayo cabut!”
“Tunggu! Tunggu dulu cing! Liat dia, dia boleh juga ya?!”.
“Cepetan! Ntar ada yang tau! Kita cuma dapet 100 ribu, cepetan!”.
“Gue pengen liat bentar aja!”.
“Beres! Ayo cabut!”
“Tunggu! Tunggu dulu cing! Liat dia, dia boleh juga ya?!”.
“Cepetan! Ntar ada yang tau! Kita cuma dapet 100 ribu, cepetan!”.
“Gue pengen liat bentar aja!”.
Mata
Desy terbelalak ketika si Gondrong mendekat dan menarik t-shirt merah
muda yang ia kenakan. Dengan satu tarikan keras, t-shirt itu robek
membuat BH-nya terlihat. Payudara Desy yang berukuran sedang,
bergoyang-goyang karena Desy meronta-ronta dalam ikatannya.
“Wow, oke banget!” si Gondrong berseru kagum.
“Oke, sekarang kita pergi!” ajak si Kumis, tidak begitu tertarik pada Desy karena sibuk mengawasi keadaan depan toko.
“Wow, oke banget!” si Gondrong berseru kagum.
“Oke, sekarang kita pergi!” ajak si Kumis, tidak begitu tertarik pada Desy karena sibuk mengawasi keadaan depan toko.
Tapi
si Gondrong tidak peduli, ia sekarang meraba-raba puting susu Desy
lewat BH-nya, setelah itu ia memasukkan jarinya ke belahan payudara
Desy. Dan tiba-tiba, dengan satu tarikan BH Desy ditariknya, tubuh Desy
ikut tertarik ke depan, tapi akhirnya tali BH Desy terputus dan sekarang
payudara Desy bergoyang bebas tanpa ditutupi selembar benangpun.
“Jangan!”
teriak Desy. Tapi yang tedengar cuma suara gumaman. Terasa oleh Desy
mulut si Gondrong menghisapi puting susunya pertama yang kiri lalu
sekarang pindah ke kanan. Kemudian Desy menjerit ketika si Gondrong
mengigit puting susunya.
“Diem! Jangan berisik!” si Gondrong menampar Desy, hingga berkunang-kunang. Desy hanya bisa menangis.
“Gue bilang diem!”, sembari berkata itu si Gondrong menampar buah dada Desy, sampai sebuah cap tangan berwarna merah terbentuk di payudara kiri Desy. Kemudian si Gondrong bergeser dan menampar uang sebelah kanan. Desy terus menjerit-jerit dengan mulut diplester, sementara si Gondrong terus memukuli buah dada Desy sampai akhirnya bulatan buah dada Desy berwarna merah.
“Diem! Jangan berisik!” si Gondrong menampar Desy, hingga berkunang-kunang. Desy hanya bisa menangis.
“Gue bilang diem!”, sembari berkata itu si Gondrong menampar buah dada Desy, sampai sebuah cap tangan berwarna merah terbentuk di payudara kiri Desy. Kemudian si Gondrong bergeser dan menampar uang sebelah kanan. Desy terus menjerit-jerit dengan mulut diplester, sementara si Gondrong terus memukuli buah dada Desy sampai akhirnya bulatan buah dada Desy berwarna merah.
“Ayo, cepetan cing!”, si Kumis menarik tangan si Gondrong.
“Kita musti cepet minggat dari sini!” Desy bersyukur ketika melihat si Gondrong diseret keluar ruangan oleh si Kumis. Payudaranya terasa sangat sakit, tapi Desy bersyukur ia masih hidup. Melihat sekelilingnya, Desy berusaha menemukan sesuatu untuk membebaskan dirinya. Di meja ada gunting, tapi ia tidak bisa bergerak sama sekali.
“Hey, Roy! Tokonya kosong!”.
“Masa, cepetan ambil permen!”.
“Goblok lo, ambil bir tolol!”.
“Kita musti cepet minggat dari sini!” Desy bersyukur ketika melihat si Gondrong diseret keluar ruangan oleh si Kumis. Payudaranya terasa sangat sakit, tapi Desy bersyukur ia masih hidup. Melihat sekelilingnya, Desy berusaha menemukan sesuatu untuk membebaskan dirinya. Di meja ada gunting, tapi ia tidak bisa bergerak sama sekali.
“Hey, Roy! Tokonya kosong!”.
“Masa, cepetan ambil permen!”.
“Goblok lo, ambil bir tolol!”.
Tubuh
Desy menegang, mendengar suara beberapa anak-anak di bagian depan toko.
Dari suaranya ia mengetahui bahwa itu adalah anak-anak berandal yang
ada di lingkungan itu. Mereka baru berusia sekitar 12 sampai 15 tahun.
Desy mengeluarkan suara minta tolong.
“sstt! Lo denger nggak?!”.
“Cepet kembaliin semua!”.
“Lari, lari! Kita ketauan!”.
“sstt! Lo denger nggak?!”.
“Cepet kembaliin semua!”.
“Lari, lari! Kita ketauan!”.
Tiba-tiba
salah seorang dari mereka menjengukkan kepalanya ke dalam kantor
manajer. Ia terperangah melihat Desy, terikat di kursi, dengan t-shirt
robek membuat buah dadanya mengacung ke arahnya.
“Buset!” berandal itu tampak terkejut sekali, tapi sesaat kemudian ia menyeringai.
“Hei, liat nih! Ada kejutan!”
“Buset!” berandal itu tampak terkejut sekali, tapi sesaat kemudian ia menyeringai.
“Hei, liat nih! Ada kejutan!”
Desy
berusaha menjelaskan pada mereka, menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia
berusaha menjelaskan bahwa dirinya baru saja dirampok. Ia berusaha minta
tolong agar mereka memanggil polisi. Ia berusaha memohon agar mereka
melepaskan dirinya dan menutupi dadanya. Tapi yang keluar hanya suara
gumanan karena mulutnya masih tertutup plester. Satu demi satu
berandalan itu masuk ke dalam kantor. Satu, kemudian dua, lalu tiga.
Empat. Lima! Lima wajah-wajah dengan senyum menyeringai sekarang
mengamati tubuh Desy, yang terus meronta-ronta berusaha menutupi
tubuhnya dari pandangan mereka. Berandalan, yang berumur sekitar 15
tahun itu terkagum-kagum dengan penemuan mereka.
“Gila! Cewek nih!”.
“Dia telanjang!”.
“Tu liat susunya! susu!”.
“Mana, mana gue pengen liat!”.
“Gue pengen pegang!”.
“Pasti alus tuh!”.
“Bawahnya kayak apa ya?!”.
“Dia telanjang!”.
“Tu liat susunya! susu!”.
“Mana, mana gue pengen liat!”.
“Gue pengen pegang!”.
“Pasti alus tuh!”.
“Bawahnya kayak apa ya?!”.
Mereka
semua berkomentar bersamaan, kegirangan menemukan Desy yang sudah
terikat erat. Kelima berandal itu maju dan merubung Desy, tangan-tangan
meraih tubuh Desy. Desy tidak tahu lagi, milik siapa tanga-tangan
tersebut, semuanya berebutan mengelus pinggangnya, meremas buah dadanya,
menjambak rambutnya, seseorang menjepit dan menarik-narik puting
susunya. Kemudian, salah satu dari mereka menjilati pipinya dan
memasukan ujung lidahnya ke lubang telinga Desy.
“Ayo,
kita lepasin dia dari kursi!” Mereka melepaskan ikatan pada kaki Desy,
tapi dengan tangan masih terikat di belakang, sambil terus meraba dan
meremas tubuh Desy. Melihat ruangan kantor itu terlalu kecil mereka
menyeret Desy keluar menuju bagian depan toko. Desy meronta-ronta ketika
merasa ada yang berusaha melepaskan kancing jeansnya. Mereka
menarik-narik jeans Desy sampai akhirnya turun sampai ke lutut. Desy
terus meronta-ronta, dan akhirnya mereka berenam jatuh tersungkur ke
lantai. Sebelum Desy sempat membalikkan badannya, tiba-tiba terdengar
suara lecutan, dan sesaat kemudian Desy merasakan sakit yang amat sangat
di pantatnya. Desy melihat salah seorang berandal tadi memegang sebuah
ikat pinggang kulit dan bersiap-siap mengayunkannya lagi ke pantatnya!
“Bangun!
Bangun!” ia berteriak, kemudian mengayunkan lagi ikat pinggangnya.
Sebuah garis merah timbul di pantat Desy. Desy berusaha berguling
melindungi pantatnya yang terasa sakit sekali. Tapi berandal tadi tidak
peduli, ia kembali mengayunkan ikat pinggang tadi yang sekarang
menghajar perut Desy.
“Bangun!
naik ke sini!” berandal tadi menyapu barang-barang yang ada di atas
meja layan hingga berjatuhan ke lantai. Desy berusaha bangun tapi tidak
berhasil. Lagi, sebuah pukulan menghajar buah dadanya. Desy berguling
dan berusaha berdiri dan berhasil berlutut dan berdiri. Berandal tadi
memberikan ikat pinggang tadi kepada temannya. “Kalo dia gerak, pukul
aja!”
Langsung
saja Desy mendapat pukulan di pantatnya. Berandal-berandal yang lain
tertawa dan bersorak. Mereka lalu mendorong dan menarik tubuhnya,
membuat ia bergerak-gerak sehingga mereka punya alasan lagi buat
memukulnya. Berandal yang pertama tadi kembali dengan membawa segulung
plester besar. Ia mendorong Desy hingga berbaring telentang di atas
meja. Pertama ia melepaskan tangan Desy kemudian langsung mengikatnya
dengan plester di sudut-sudut meja, tangan Desy sekarang terikat erat
dengan plester sampai ke kaki meja. Selanjutnya ia melepaskan sepatu,
jeans dan celana dalam Desy dan mengikatkan kaki-kaki Desy ke kaki-kaki
meja lainnya. Sekarang Desy berbaring telentang, telanjang bulat dengan
tangan dan kaki terbuka lebar menyerupai huruf X.
“Waktu
Pesta!” berandal tadi lalu menurunkan celana dan celana dalamnya. Mata
Desy terbelalak melihat penisnya menggantung, setengah keras sepanjang
20 senti. Berandal tadi memegang pinggul Desy dan menariknya hingga
mendekati pinggir meja. Kemudian ia menggosok-gosok penisnya hingga
berdiri mengacung tegang.
“Waktunya
masuk!” ia bersorak sementara teman-teman lainnya bersorak dan tertawa.
Dengan satu dorongan keras, penisnya masuk ke vagina Desy. Desy
melolong kesakitan. Air mata meleleh turun, sementara berandal tadi
mulai bergerak keluar masuk. Temannya naik ke atas meja, menduduki dada
Desy, membuat Desy sulit bernafas. Kemudian ia melepaskan celananya,
mengeluarkan penisnya dari celana dalamnya. Plester di mulut Desy
ditariknya hingga lepas. Desy berusaha berteriak, tapi mulutnya langsung
dimasuki oleh penis berandal yang ada di atasnya. Langsung saja, penis
tadi mengeras dan membesar bersamaan dengan keluar masuknya penis tadi
di mulut Desy. Pandangan Desy berkunang-kunang dan merasa akan pingsan,
ketika tiba-tiba mulutnya dipenuhi cairan kental, yang terasa asin dan
pahit. Semprotan demi semprotan masuk, tanpa bisa dimuntahkan oleh Desy.
Desy terus menelan cairan tadi agar bisa terus mengambil nafas.
Berandal
yang duduk di atas dada Desy turun ketika kemudian, berandal yang
sedang meperkosanya di pinggir meja bergerak makin cepat. Ia memukuli
perut Desy, membuat Desy mengejang dan vaginanya berkontraksi menjepit
penisnya. Ia kemudian memegang buah dada Desy sambil terus bergerak
makin cepat, ia mengerang-erang mendekati klimaks. Tangannya meremas dan
menarik buah dada Desy ketika tubuhnya bergetar dan sperma pun
menyemprot keluar, terus-menerus mengalir masuk di vagina Desy.
Sementara itu berandal yang lainnya berdiri di samping meja dan
melakukan masturbasi, ketika pimpinan mereka mencapai puncaknya mereka
juga mengalami ejakulasi bersamaan. Sperma mereka menyemprot keluar dan
jatuh di muka, rambut dan dada Desy.
Desy
tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, ketika tahu-tahu ia kembali
sendirian di toko tadi, masih terikat erat di atas meja. Ia tersadar
ketika menyadari dirinya terlihat jelas, jika ada orang lewat di depan
tokonya. Desy meronta-ronta membuat buah dadanya bergoyang-goyang. Ia
menangis dan meronta berusaha melepaskan diri dari plester yang
mengikatnya. Setelah beberapa lama mencoba Desy berhasil melepaskan
tangan kanannya. Kemudian ia melepaskan tangan kirinya, kaki kanannya.
Tinggal satu lagi.
“Wah, wah, wah!” terdengar suara laki-laki di pintu depan. Desy terkejut dan berusaha menutupi dada dan vaginanya dengan kedua tangannya.
“Tolong saya!” ratap Desy.
“Tolong saya Pak! Toko saya dirampok, saya diikat dan diperkosa! Tolong saya Pak, panggilkan polisi!”
“Nama lu Desy kan?” tanya laki-laki tadi.
“Bagaimana bapak tahu nama saya?” Desy bingung dan takut.
“Gue Roy. Orang yang kerjaannya di toko ini lo rebut!”.
“Saya tidak merebut pekerjaan bapak. Saya tahu dari iklan di koran. Saya betul-betul tidak tahu pak! Tolong saya pak!”.
“Gara-gara lo ngelamar ke sini gue jadi dipecat! Gue nggak heran lo diterima kalo liat bodi lo”.
“Wah, wah, wah!” terdengar suara laki-laki di pintu depan. Desy terkejut dan berusaha menutupi dada dan vaginanya dengan kedua tangannya.
“Tolong saya!” ratap Desy.
“Tolong saya Pak! Toko saya dirampok, saya diikat dan diperkosa! Tolong saya Pak, panggilkan polisi!”
“Nama lu Desy kan?” tanya laki-laki tadi.
“Bagaimana bapak tahu nama saya?” Desy bingung dan takut.
“Gue Roy. Orang yang kerjaannya di toko ini lo rebut!”.
“Saya tidak merebut pekerjaan bapak. Saya tahu dari iklan di koran. Saya betul-betul tidak tahu pak! Tolong saya pak!”.
“Gara-gara lo ngelamar ke sini gue jadi dipecat! Gue nggak heran lo diterima kalo liat bodi lo”.
Desy
kembali merasa ketakutan melihat Roy, seseorang yang belum pernah
dilihat dan dikenalnya tapi sudah membencinya. Desy kembali berusaha
melepaskan ikatan di kaki kirinya, membuat Raoy naik pitam. Ia menyambar
tangan Desy dan menekuknya ke belakang dan kembali diikatnya dengan
plester, dan plester itu terus dilitkan sampai mengikat ke bahu, hingga
Desy betul-betul terikat erat. Ikatan itu membuat Desy kesakitan, ia
menggeliat dan buah dadanya semakin membusung keluar.
“Lepaskan! Sakit! aduuhh! Saya tidak memecat bapak! Kenapa saya diikat?”
“Gue tadinya mau ngerampok nih toko, cuma kayaknya gue udah keduluan. Jadi gue rusak aja deh nih toko”.
“Lepaskan! Sakit! aduuhh! Saya tidak memecat bapak! Kenapa saya diikat?”
“Gue tadinya mau ngerampok nih toko, cuma kayaknya gue udah keduluan. Jadi gue rusak aja deh nih toko”.
Ia
kemudian melepaskan ikatan kaki Desy sehingga sekarang Desy duduk di
pinggir meja dengan tangan terikat di belakang. Kemudian diikatnya lagi
dengan plester.
Kemudian
Roy mulai menghancurkan isi toko itu, etalase dipecahnya, rak-rak
ditendang jatuh. Kemudian Roy mulai menghancurkan kotak pendingin es
krim yang ada di kanan Desy. Es krim beterbangan dilempar oleh Roy.
Beberapa di antaranya mengenai tubuh Desy, kemudian meleleh mengalir
turun, melewati punggungnya masuk ke belahan pantatnya. Di depan, es
tadi mengalir melalui belahan buah dadanya, turun ke perut dan mengalir
ke vagina Desy. Rasa dingin juga menempel di buah dada Desy, membuat
putingnya mengeras san mengacung. Ketika Roy selesai, tubuh Desy
bergetar kedinginan dan lengket karena es krim yang meleleh.
“Lo keliatan kedinginan!” ejek Roy sambil menyentil puting susu Desy yang mengeras kaku.
“Gue musti kasih lo sesuatu yang anget.”
“Lo keliatan kedinginan!” ejek Roy sambil menyentil puting susu Desy yang mengeras kaku.
“Gue musti kasih lo sesuatu yang anget.”
Roy
kemudian mendekati wajan untuk mengoreng hot dog yang ada di tengah
ruangan. Desy melihat Roy mendekat membawa beberapa buah sosis yang
berasap. “Jangaann!” Desy berteriak ketika Roy membuka bibir vaginanya
dan memasukan satu sosis ke dalam vaginanya yang terasa dingin karena es
tadi. Kemudian ia memasukan sosis yang kedua, dan ketiga. Sosis yang
keempat putus ketika akan dimasukan. Vagina Desy sekarang diisi oleh
tiga buah sosis yang masih berasap. Desy menangis kesakitan kerena panas
yang dirasakannya.
“Keliatannya nikmat!” Roy tertawa.
“Tapi gue lebih suka dengan mustard!” Ia mengambil botol mustard dan menekan botol itu. Cairan mustard keluar menyemprot ke vagina Desy. Desy menangis terus, melihat dirinya disiksa dengan cara yang tak terbayangkan olehnya.
“Tapi gue lebih suka dengan mustard!” Ia mengambil botol mustard dan menekan botol itu. Cairan mustard keluar menyemprot ke vagina Desy. Desy menangis terus, melihat dirinya disiksa dengan cara yang tak terbayangkan olehnya.
Sambil
tertawa Roy melanjutkan usahanya menghancurkan isi toko itu. Desy
berusaha melepaskan diri, tapi tak berhasil. Nafasnya tersengal-sengal,
ia tidak kuat menahan semua ini. Tubuh Desy bergerak lunglai jatuh.”
“Hei! Kalo kerja jangan tidur!” bentak Roy sambil menampar pipi Desy.
“Lo tau nggak, daerah sini nggak aman jadi perlu ada alarm.”
“Hei! Kalo kerja jangan tidur!” bentak Roy sambil menampar pipi Desy.
“Lo tau nggak, daerah sini nggak aman jadi perlu ada alarm.”
Desy
meronta ketakutan melihat Roy memegang dua buah jepitan buaya. Jepitan
itu bergigi tajam dan jepitannya keras sekali. Roy mendekatkan satu
jepitan ke puting susu kanan Desy, menekannya hingga terbuka dan
melepaskannya hingga menutup kembali menjepit puting susu Desy. Desy
menjerit dan melolong kesakitan, gigi jepitan tadi menancap ke puting
susunya. Kemudian Roy juga menjepit puting susu yang ada di sebelah
kiri. Air mata Desy bercucuran di pipi.
Kemudian
Roy mengikatkan kawat halus di kedua jepitan tadi, mengulurnya dan
kemudian mengikatnya ke pegangan pintu masuk. Ketika pintu itu didorong
Roy hingga membuka keluar, Desy merasa jepitan tadi tertarik oleh kawat,
dan membuat buah dadanya tertarik dan ia menjerit kesakitan.
“Nah,
udah jadi. Lo tau kan pintu depan ini bisa buka ke dalem ama keluar,
tapi bisa juga disetel cuma bisa dibuka dengan cara ditarik bukan
didorong. Jadi gue sekarang pergi dulu, terus nanti gue pasang biar
pintu itu cuma bisa dibuka kalo ditarik. Nanti kalo ada orang dateng,
pas dia dorong pintu kan nggak bisa, pasti dia coba buat narik tuh
pintu, nah, pas narik itu alarmnya akan bunyi!”
“Jangan! saya mohoon! mohon! jangan! jangan! ampun!”
“Jangan! saya mohoon! mohon! jangan! jangan! ampun!”
Roy
tidak peduli, ia keluar dan tidak lupa memasang kunci pada pintu itu
hingga sekarang pintu tadi hanya bisa dibuka dengan ditarik. Desy
menangis ketakutan, puting susunya sudah hampir rata, dijepit. Ia
meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan. Tubuh Desy berkeringat setelah
berusaha melepaskan diri tanpa hasil. Lama kemudian terlihat sebuah
bayangan di depan pintu, Desy melihat ternyata bayangan itu milik
gelandangan yang sering lewat dan meminta-minta. Gelandangan itu melihat
tubuh Desy, telanjang dengan buah dada mengacung.
Gelandang itu mendorong pintu masuk. Pintu itu tidak terbuka. Kemudian ia meraih pegangan pintu dan mulai menariknya.
Desy berusaha menjerit “Jangan! jangan! jangan buka! jangaann!”, tapi gelandangan tadi tetap menarik pintu, yang kemudian menarik kawat dan menarik jepitan yang ada di puting susunya. Gigi-gigi yang sudah menancap di daging puting susunya tertarik, merobek puting susunya. Desy menjerit keras sekali sebelum jatuh di atas meja. Pingsan.
Desy berusaha menjerit “Jangan! jangan! jangan buka! jangaann!”, tapi gelandangan tadi tetap menarik pintu, yang kemudian menarik kawat dan menarik jepitan yang ada di puting susunya. Gigi-gigi yang sudah menancap di daging puting susunya tertarik, merobek puting susunya. Desy menjerit keras sekali sebelum jatuh di atas meja. Pingsan.
Desy
tersadar dan menjerit. Sekarang ia berdiri di depan meja kasir.
Tangannya terikat ke atas di rangka besi meja kasir. Sedangkan kakinya
juga terikat terbuka lebar pada kaki-kaki meja kasir. Ia merasa
kesakitan. Puting susunya sekarang berwarna ungu, dan menjadi sangat
sensitif. Udara dingin saja membuat puting susunya mengacung tegang.
Memar-memar menghiasi seluruh tubuhnya, mulai pinggang, dada dan
pinggulnya. Desy merasakan sepasang tangan berusaha membuka belahan
pantatnya dari belakang. Sesuatu yang dingin dan keras berusaha masuk ke
liang anusnya. Desy menoleh ke belakang, dan ia melihat gelandangan
tadi berlutut di belakangnya sedang memegang sebuah botol bir.
“Jangan, ampun! Lepaskan saya pak! Saya sudah diperkosa dan dipukuli! Saya tidak tahan lagi.”
“Tapi Mbak, pantat Mbak kan belon.” gelandangan itu berkata tidak jelas.
“Jangan!” Desy meronta, ketika penis gelandangan tadi mulai berusaha masuk ke anusnya. Setelah beberapa kali usaha, gelandangan tadi menyadari penisnya tidak bisa masuk ke dalam anus Desy. Lalu ia berlutut lagi, mengambil sebuah botol bir dari rak dan mulai mendorong dan memutar-mutarnya masuk ke liang anus Desy.
“Jangan, ampun! Lepaskan saya pak! Saya sudah diperkosa dan dipukuli! Saya tidak tahan lagi.”
“Tapi Mbak, pantat Mbak kan belon.” gelandangan itu berkata tidak jelas.
“Jangan!” Desy meronta, ketika penis gelandangan tadi mulai berusaha masuk ke anusnya. Setelah beberapa kali usaha, gelandangan tadi menyadari penisnya tidak bisa masuk ke dalam anus Desy. Lalu ia berlutut lagi, mengambil sebuah botol bir dari rak dan mulai mendorong dan memutar-mutarnya masuk ke liang anus Desy.
Desy
menjerit-jerit dan meronta-ronta ketika leher botol bir tadi mulai
masuk dengan keadaan masih mempunyai tutup botol yang berpinggiran
tajam. Liang anus Desy tersayat-sayat ketika gelandangan tadi
memutar-mutar botol dengan harapan liang anus Desy bisa membesar.
Setelah
beberapa saat, gelandangan tadi mencabut botol tadi. Tutup botol bir
itu sudah dilapisi darah dari dalam anus Desy, tapi ia tidak peduli.
Gelandang itu kembali berusaha memasukan penisnya ke dalam anus Desy
yang sekarang sudah membesar karena dimasuki botol bir. Gelandang tadi
mulai bergerak kesenangan, sudah lama sekali ia tidak meniduri
perempuan, ia bergerak cepat dan keras sehingga Desy merasa dirinya akan
terlepar ke depan setiap gelandangan tadi bergerak maju. Desy terus
menangis melihat dirinya disodomi oleh gelandangan yang mungkin membawa
penyakit kelamin, tapi gelandangan tadi terus bergerak makin makin
cepat, tangannya meremas buah dada Desy, membuat Desy menjerit karena
puting susunya yang terluka ikut diremas dan dipilih-pilin. Akhirnya
dengan satu erangan, gelandang tadi orgasme, dan Desy merakan cairan
hangat mengalir dalam anusnya, sampai gelandangan tadi jatuh terduduk
lemas di belakang Desy.
“Makasih
ya Mbak! Saya puas sekali! Makasih.” gelandangan tadi melepaskan ikatan
Desy. Kemudian ia mendorong Desy duduk dan kembali mengikat tangan Desy
ke belakang, kemudian mengikat kaki Desy erat-erat. Kemudian tubuh Desy
didorongnya ke bawah meja kasir hingga tidak terlihat dari luar.
Sambi
terus mengumam terima kasih gelandangan tadi berjalan sempoyongan
sambil membawa beberapa botol bir keluar dari toko. Desy terus menangis,
merintih merasakan sperma gelandangan tadi mengalir keluar dari
anusnya. Lama kemudian Desy jatuh pingsan kelelahan dan shock. Ia baru
tersadar ketika ditemukan oleh rekan kerjanya yang masuk pukul 6 pagi.
TAMAT