Ketika aku mendekati pintu, suara-suara yang gugup semakin terdengar
lebih jelas. Mantan istriku, Wati, yang kuceraikan delapan tahun yang
lalu sedang memberikan perintah-perintahnya pada seseorang. Aku
mendengar suara tawa yang renyah dari putri bungsuku, Erna yang berusia
sembilan belas tahun, dan protes dari kakaknya, Endang, sang pengantin
wanita.
Dalam usianya yang ke-dua puluh satu tahun,
muda dan keras kepala, saat menceritakan padaku kalau dia akan menikah,
aku terdiam merasa kecewa dan terguncang, tapi aku menyembunyikannya
dengan mendoakannya keberuntungan yang terbaik dan sebuah kehidupan yang
selalu bahagia. Suara yang lain tidak aku kenal dan kutebak kalau itu
adalah suara para pengiring pengantin, gugup dalam kebahagiaan mereka
untuk yang lain, barangkali menantikan hari mereka sendiri.
Kurapikan dasi kupu-kupuku dengan bercermin di gang, aku melihat
bayangan diriku dalam cermin, mengerutkan dahi merasa tak nyaman memakai
pakaian resmi yang membatasi ini. Kuperhatikan diriku, rambutku masih
terlihat hitam dan bersyukur karena kulihat bahwa sama sekali belum ada
uban di usia empat puluh satu tahun ini. Wajahku terlihat keras karena
tahun-tahun travellingku dan sering keluar masuk di lingkungan yang
keras yang notabene penuh asap dan alkohol. Dan ketika aku mempelajari
mata lelaki dalam cermin ini, aku mendapatkan gambaran akan kehidupan
yang menghantarku hingga di sini. Aku jumpa Wati istriku saat kami
berdua masih terlalu muda untuk membedakan mana yang baik, dan dia
meyakinkanku si pemain gitar ini bahwa kami berdua akan bisa menaklukkan
kerasnya dunia.
Dia adalah lulusan sebuah perguruan tinggi dengan pekerjaan tetap dan
aku adalah seorang lelaki yang pergi bertualang dari kota satu ke kota
lainnya berkeliling negeri ini. Anak-anak gadis kami lahir di awal
perkawinan, yang membuat kami masih bertahan bersama sekitar lima tahun
lamanya hingga akhirnya kami berdua menyadari bahwa hubungan ini sudah
tak dapat dipertahankan lagi. Dia bertemu dengan seorang pria lain yang
mempunyai sebuah kehidupan yang stabil, yang menurutnya akan lebih baik
untuk kehidupan kedua putri kami.
Perceraian datang dan terjadi seperti perkiraan kami dan aku masih
menetap di dekat mereka selama beberapa tahun sampai memperoleh sebuah
lompatan besar sebagai pemusik studio di ibu kota. Sejak saat itu, aku
mencoba yang terbaik agar tetap bisa berhubungan melalui telepon, lewat
kiriman foto, dan tour keliling yang sekali-kali singgah di dekat situ.
Dan saat aku menatap dalam kaca, aku melihat sebuah penyesalan yang
terpancar ke luar.
“Ayah, apa yang Ayah lakukan?”
Aku kembali pada kesadaranku oleh suara putriku, Erna. Dia terlihat
cantik bahkan di saat memakai baju pengiring pengantinnya yang
menggelikan itu. Kulitnya yang kuning langsat dan rambutnya yang hitam
pekat terlihat kontras dibandingkan dengan warna metalik dari pakaian
itu. Dia tersenyum dalam kecantikannya yang lugu dan menatapku dengan
bingung.
“Hanya mengenang masa lalu,” kataku.
“Saat seperti ini membuat kamu berpikir kalau kamu telah membuat
keputusan yang salah. Bagaimana itu mempengaruhi hidup orang lain.” Dia
menghiburku dengan pelukan dan mengusap bahu dan punggung lenganku.
“Ayah lakukan apa yang harus Ayah lakukan,” dia berkata.
“Aku tidak memusuhi Ayah. Aku akan melakukan hal yang sama bila berada
dalam posisi tersebut. Aku akan lebih memilih pengalaman hidup dari pada
mengambil keputusan seperti yang diambil Ibu.”
Pijatannya yang lembut menenangkan keteganganku, dan saat aku telah
menjadi lebih santai aku sadari betapa aku menikmati dadanya yang
menekan tubuhku. Dengan tinggiku yang sekitar dua belas centimeter lebih
tinggi daripada Erna, aku menggerakkan tanganku dari punggungnya yang
kecil naik ke bahunya yang telanjang dan menekannya agar merapat padaku.
Dia membalas memelukku erat dan tersenyum dengan tidak berdosa.
Kutundukkan kepalaku, dan memberinya sebuah ciuman ringan di atas
dahinya, tetapi dia malah berjinjit pada jari kakinya dan dengan cepat
menemukan bibirku.
“O-o.., sebaiknya Ibu tidak melihat. Dia mungkin akan cemburu. Atau
Endang, mungkin.” dia tertawa genit. Aku tersenyum pada kelakarnya dan
ketika dia berjalan sepanjang aula, aku tidak bisa mempercayai reaksinya
pada perlakuanku yang dengan pelan memukul pantatnya.
“Mungkin nanti, Ayah bisa mencobanya saat aku tidak memakai pakaian gembung ini.”
Gaunnya turun hingga ke bawah lututnya dan itu terlihat indah, kaki-kaki
itu laksana sebuah magnet yang membuat mataku lengket selalu menatapnya
saat menggerakkan keindahan ini, saat wanita muda itu melenggang pergi.
Aku membayangkan pantat yang manis dan kencang yang dia miliki. Aku
juga membayangkan seperti apa rasanya pantat itu di dalam tanganku
ketika dia menungganginya naik turun pada penisku, meneriakkan dengan
histeris, “Setubuhi aku, Ayah. Setubuhi putri kecilmu. Masukkan penismu
dalam vagina panas putrimu.” Saat kepergok sedang memandangi dan
mengkhayalkannya, aku melihat ke arah putriku yang menengok ke belakang.
Dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya saat dia berbelok di ujung
gang itu.
Kembali ke kenyataan, aku akan mengetuk pada pintu di mana pengantin
wanita sedang bersiap-siap ketika mantan istriku Wati membuka pintu itu
dan keluar.
“Rudi, kita harus bicara.” dia berkata dalam sebuah nada yang memperingatkan. Aku bergeser dari pintu untuk memberinya ruang.
“Endang ingin agar Anton yang berjalan di sepanjang karpet itu.
Sekarang, kamu benar-benar tidak punya alasan untuk mengganggunya.”
“Aku tidak peduli,” aku menjawab deklarasinya. Aku merasa terluka, tapi
rasa bersalahku akan kehidupanku berkata bahwa ini adalah konsekwensi
dari keputusan hidupku yang lain.
“Aku harap aku bisa bicara dengannya sebelum upacara,” kulirik arlojiku. Masih ada waktu satu jam.
“Aku ingin meluruskan beberapa hal. Ingin mendoakan keberuntungannya. Hal-hal seperti itulah.”
“Itu bukan ide yang baik,” kata Wati.
“Dia sedang bingung dengan siapa dia akan berjalan di karpet itu nanti.
Dia terlalu emosional dan gelisah sekarang. Aku bilang padanya bahwa dia
sudah membuat keputusan yang benar dan kamu akan memahami itu.”
Aku tidak ingin membuat masalah, dan aku bisa lihat aku tidak akan
berusaha melewati sang penjaga pintu, maka kuanggukkan kepalaku dan
berbalik. Aku berjalan ke dalam ruangan di mana sang pendeta sedang
bersiap-siap dan berbicara dengannya untuk beberapa menit sebelum dia
pergi untuk meyakinkan para pelayan altar agar tahu apa yang harus
mereka lakukan. Dia berkata bahwa aku boleh tetap berada di sini jika
aku ingin, kuambil tawarannya dan duduk pada sofa kulitnya menghadap
jendela dan melihat orang-orang yang memakai setelan jas resmi dan gaun
pesta ke dalam gereja. Pintu terbuka dan menutup di belakangku. Mengira
kalau yang masuk adalah sang pendeta, aku berdiri dan bertanya..
“Apa pekerjaan mereka beres?”
“Beres?” tanya Erna.
“Ah. Aku pikir kamu si pendeta.” dia tertawa.
Erna menggantikan tempatku di sofa ketika aku berjalan di sekitar
jendela dengan membayangkan hubungan seks sedarah kami. Kakinya bertumpu
pada meja kopi di depan sofa menekuk lututnya saat dia mengayunkannya
maju mundur, membuka dan menutup. Gaunnya yang mulai tersingkap ke atas
pahanya yang memperlihatkan lebih banyak bagian dari paha dalamnya.
Gaunnya tersingkap hingga di atas lututnya, suaranya menggesek maju
mundur menyelimuti detak jantungku yang terus meningkat. Aku berjalan
semakin dekat untuk senyuman lezat yang ingin kucicipi itu tetapi sadar
kalau aku tidak bisa melakukannya.
Putriku yang berumur sembilan belas tahun itu sedang menggodaku. Aku
sering melihat ‘groupies’ untuk mengetahui tentang apa arti dari godaan,
tetapi groupies lebih blak-blakan. Semua orang tahu apa yang mereka
inginkan. Ada sesuatu yang disembunyikan di sini, kami berdua tahu apa
yang akan terjadi. Aku yakin kami berdua bukanlah orang ’suci’. Tapi
godaan ini tak akan berakibat apa pun. Tidak ada apa pun yang bisa. Itu
salah. Kami tidak bisa membiarkan sesuatu itu terjadi. Sesuatu yang
bersifat seksual.
Dia membuka kakinya lebih lebar, seperti sebuah undangan agar datang
menikmatinya. Gaunnya bergerak lebih tinggi dan aku menangkap sebuah
pandangan sekilas dari sabuk stocking yang membungkus di sekitar paha
indahnya. Erna menurunkan kakinya ke lantai dan aku takut kalau aku akan
menerkamnya, aku telah berbuat keterlaluan dengan nafsu pada keindahan
pahanya. Paha yang aku inginkan untuk melingkari tubuhku, yang
kutelusuri dengan tanganku. Tetapi dia masih tersenyum saat aku
memandangnya, memainkan pikiranku. Dia ingin agar aku duduk pada meja di
depannya dan aku melakukannya, tidak ingin mengecewakan wanita muda
ini.
“Tetaplah di sini,” dia berkata.
Aku mematuhi dan menutup wajahku dengan tangan, berusaha meredakan
pikiranku yang penuh gairah. Aku ingin kehangatan dari seorang wanita,
dan aku ingin merasakan kehangatan itu pada penisku. Aku ingin dadanya
di tanganku, pahanya bergesekan dengan milikku. Aku menginginkan
perhatian dan cintanya. Itu salah, atau kira-kira itulah yang mereka
katakan, untuk bernafsu pada wanita yang aku inginkan. Tetapi melihatnya
mengayunkan paha, menggesekkan ke depan dan ke belakang, membayangkan
itu adalah vaginanya yang menggesek, menelan penisku, merintih dengan
penuh gairah ketika aku memompa keluar masuk tubuhnya, aku telah sampai
di garis tepi itu.
Tanganku menutupi wajahku, pikiranku menjadi liar. Aku mendengar suara
pintu di seberang ruangan ditutup di belakangku yang diikuti oleh suara
mengunci pintu itu. Sepertinya ada dua orang di sana. Aku mengintip dari
tanganku dan melihat seorang pengantin wanita yang paling cantik dalam
hidupku. Tingginya yang sama dengan adiknya, dia mempunyai sebuah wajah
yang sama cantiknya dan bentuk tubuh sempurna yang tak berbeda. Jika
rambutnya tidak lebih panjang, pasti akan sulit untuk membedakan mereka.
Aku berdiri, penisku masih keras tapi tersembunyi oleh pakaian resmi
yang kupakai. Malu dengan pemikiranku akan Erna, aku mendekati Endang
yang mengenakan gaun pengantin anggun, menggairahkan.
“Sayang, kamu cantik sekali,” kataku.
Paha Endang yang terlihat menyembul dari balik gaun putihnya hampir
membuatku meledak di dalam celana dalamku. Jasku sedang dibuka oleh
seseorang di belakangku. Aku menoleh dan menemukan Erna. Keinginan yang
penuh gairah kembali lagi. Endang tersenyum pada Erna dan melihat mata
Endang, aku tahu putri bungsuku pasti tersenyum juga. Aku mulai untuk
mencoba katakan sesuatu, tapi Endang memotong..
“Ayah,” dia berkata.
“Ayah yang manis, lembut..”, katanya lagi.
Dia bergerak semakin dekat kepadaku seiring kurasa tangan Erna mengelus
lenganku kemudian menyeberang ke dadaku. Aku pikir aku sedang bermimpi
dan aku ingin terbangun agar aku bisa segera melakukan masturbasi dan
mengeluarkan bayangan ini dari pikiranku. Tapi ini bukan sebuah mimpi.
“Aku tahu Ayah merasa bahwa sepertinya Ayah sudah menelantarkan kami.
Tapi, kami tahu bahwa Ayah sudah mencoba yang terbaik. Kami tahu bahwa
Ibu saja yang sulit menerimanya.”
“Kami mencintai Ayah. Waktu yang pernah kita lewati bersama sangat
berharga.” Erna menambahkan ketika dia tetap membelai dadaku, kemudian
dia dengan lembutnya mencium leherku. Nafasnya yang halus menggetarkan
tubuhku.
“Sebenarnya, kami sangat menginginkan Ayah,” kata Endang saat dia telah dengan sepenuhnya merapat.
“Ini adalah khayalanku,” katanya sebelum dengan singkat mencicipi bibirku.
Tanganku bergerak ke bawah gaun pengantinnya, meluncur di atas kedua
pahanya. Dagingnya yang halus tidak mengenakan stocking. Saat tangan
kiriku mencapai kelembabannya, rambut kemaluannya, aku tahu dia ingin
disetubuhi. Penisku semakin keras saat lidah bernafsu Endang menjadi
lebih agresif dan mengatakan padaku bahwa penis Ayahnya inilah yang dia
inginkan di dalam vaginanya.
“Katakan pada Ayah betapa kamu sangat menginginkan dia, Endang.”
Erna sudah pindah dari belakangku ke belakang Endang. Saat aku sedang
mengelus paha Endang dengan satu tangan dan menggoda bibir vaginanya
dengan jari dari tangan yang lainnya, Erna sedang mengelus dada kakaknya
dan mencium lehernya dan memegangi telinganya. Kemudian aku merasa
tangan Erna bergabung dengan tanganku dalam merasakan vagina kakaknya
yang basah.
“Ohh, ya, Ayah,” erang Endang lirih. Celana dalamku terlepas dan putriku
mendapatkan penisku di dalam genggaman tangannya. Dia menyeka beberapa
precum dengan jarinya dan menghisapnya ke dalam mulutnya sebelum
menarikku kembali dalam sebuah ciuman.
“Aku ingin Ayah menyetubuhiku, Ayah. Setubuhi gadis kecilmu yang nakal ini.”
Vagina Endang yang panas adalah hal terbaik yang pernah dirasakan
jariku, dan saat dia menjauh, mereka dibuatnya sedih. Tetapi dia lalu
duduk di atas sofa, lutut ditekuk dan kaki mengangkang terbuka, seperti
yang dilakukan Erna sebelumnya. Dia menyingkap gaunnya hingga dapat
kulihat gundukan dagingnya yang menggairahkan di bawah gaun
pengantinnya. Erna memanfaatkan kesempatan yang ditinggalkan kakaknya
untuk berlutut dan mengambil penis kerasku ke dalam mulut mudanya. Aku
membungkukkan kepalaku dan membelai rambutnya saat dia menghisap batang
tebalku. Melalui mataku yang hampir terpejam, aku bisa melihat Endang
yang memainkan kelentitnya, menjilat sari buahnya.
Endang tidak bisa membendungnya lagi, dan tak pasti berapa lama hisapan
adiknya yang sempurna ini sanggup kuhadapi, sebab dia perintahkan padaku
agar datang padanya.
“Kemarilah dan setubuhi aku, Ayah. Aku ingin penis besar Ayah di dalam vagina panasku sekarang. Aku ingin kita keluar bersama.”
Erna mendengar rintihan kakaknya dan melepaskanku dari genggamannya,
mendekat ke Endang. Kedua putriku mulai saling mencium, Erna memberi
kakak kandungnya sebuah rasa dari apa yang akan segera dialami
vaginanya. Aku bergerak di antara paha Endang, meluncurkan tanganku pada
daging yang paling berharga yang kutahu, putriku.
“Ohh, Sayang. Kamu sangat indah. Ayah tidak bisa mencegahnya. Penisku
terasa sakit karena kamu.” Aku mengagumi kecantikan dan keindahannya dan
mendekatkan wajahku pada vagina basahnya. Sari buahnya sangat
merangsang dan lidahku melingkari bibirnya, mengambil cintanya di
dalamnya.
“Ohh, Ayah,” desahnya saat aku menyisipkan lidahku sedalam-dalamnya,
kemudian menarik keluar dan mencicipi daging yang melingkupi
kelentitnya.
“Aku sangat ingin Ayah menyetubuhiku.”
Penisku tidak bisa kutahan lagi. Aku harus merasakan kehangatan putriku
pada penisku. Aku bangkit dengan perasaan yang sangat bersemangat
mendapatkan seorang wanita muda yang dengan sepenuhnya mengharapkanmu
dalam hidupnya dan melihat Erna yang sedang menghisap puting susu
kakaknya. Kupegang penisku mengarah ke daging basah Endang yang membuka,
merasakan darahku terpompa di bawah jariku. Pelan-pelan kuselipkan
dalam sebuah dorongan pendek, kehangatannya terasa berlimpah saat aku
mempertimbangkan konsekwensi tindakan terlarang ini. Aku menginginkan
wanita muda ini, putri kandungku sendiri.
Endang melingkarkan kakinya di punggungku, seolah-olah merasakan keraguanku, dan menarikku dengan penuh ke dalamnya.
“Kumohon, setubuhi aku. Ohh Tuhan, penis besar Ayah terasa hebat.
Keluarlah di dalamku, Ayah. Aku ingin merasakan sperma Ayah menetes ke
kakiku saat aku katakan janjiku di depan pendeta.”
“Ohh, sayang. Vaginamu sangat panas dan ketat di penis besar Ayah. Ini
adalah vagina terbaik yang pernah kurasakan. Ayah ingin menyetubuhi
kedua putriku melebihi apa pun di dunia ini.” aku memompanya dengan
penuh cinta, tetapi perasaan ini tumbuh terlalu liar untuk dikendalikan.
“Katakan kamu ingin Ayahmu bagaimana, Sayang.”
“Ohh Tuhan. Aku keluar Ayah. Keluarlah bersamaku.” pinggulnya menusukkan vaginanya lebih ke dalam penisku.
“Setubuhi putrimu lebih keras,” Erna memerintahkan.
Aku memandang dari nafsu kusamku untuk melihat kedua anak gadisku saling melilitkan lidahnya dalam mulut mereka satu sama lain.
“Vaginamu sangat nikmat di penis kerasku, sayang. Ayah akan keluar. Aku mencintaimu sayang.”
Lalu, kedua tubuh kami meledak dalam sebuah orgasme yang tak
terkendalikan. Gelombang demi gelombang spermaku kupompa ke dalam
putriku, vaginanya memijat keluar tiap-tiap tetesan akhir, kakinya
menekan pantatku merapat kepadanya. Kemudian penisku mengecil di dalam
vagina Endang, dan aku memberinya sebuah ciuman penuh kasih.
“Aku mencintaimu, Endang. Akan kulakukan apa pun untukmu. Untuk kalian berdua.”
“Itu bagus,” kata Erna saat dia melangkah keluar dari pakaian pengiring
pengantinnya, bra hitamnya dan sepatu bertumit tinggi yang dia kenakan,
sangat cocok padanya.
“Sebab aku mulai cemburu melihat penis besar Ayah di dalam vagina
Kakak.” dia menggantikan posisiku di antara kaki kakaknya ketika aku
bergeser ke samping.
Putri-putriku yang nakal mulai saling berciuman dan aku memindahkan meja
menjauh agar aku dapat berdiri di belakang Erna. Endang melepaskan bra
adiknya yang memberi efek langsung pada penisku yang mengeras, tetapi
itu masih belum sepenuhnya siap benar. Tanganku mengelus pinggul Erna
ketika aku menggosokkan penisku pada pantat dan sela pahanya. Aku merasa
dia akan bangkit, maka kuberi ruang padanya saat aku menyadari bahwa
dia sedang turun pada kakaknya.
Mata Endang terpejam, tapi aku bisa melihat kesenangan yang murni pada
wajahnya ketika adiknya mencicipi campuran dari orgasme adik dan
ayahnya. Erna telah siap untuk disetubuhi. Dia membentangkan kakinya
terpisah dan dengan sepatunya yang bertumit tinggi dan kepalanya turun
pada kakaknya, pantatnya bergoyang dengan sempurna. Aku harus
mencicipinya dulu. Maka aku turun ke atas lantai di antara kakinya, dan
mengangkat kepalaku ke atas, mulai menjilati vagina basahnya. Dia
membantuku dengan satu jarinya yang menggosok kelentitnya ketika aku
menjilat ke dalam bibir vaginanya.
Rintihannya mengirimku ke garis tepi itu. Kami semua tidak mampu
membendungnya lagi. Aku bangkit di belakangnya dengan tanganku memegangi
pinggulnya, masih mengayun dan kakinya lebih jauh terpentang, lidahnya
masih memberi kenikmatan pada kakaknya lebih lagi. Aku menatap pahanya,
ditopang oleh tumitnya, dan teringat dia saat berjalan di sepanjang aula
itu. Dengan memejamkan mata, aku menarik kami bersama, penis gemukku
menekan jauh ke dalam vaginanya yang hangat dan basah.
“Ohh, Erna.” aku mengerang dalam masing-masing ayunanku yang lembut.
“Sayang, kamu sangat seksi.” tanganku meremas pantat dan pinggulnya yang bergerak seiring ayunanku.
“Melihatmu mengoral kakakmu membuat Ayah akan keluar lagi.”
“Ayah, penis besar Ayah terasa sangat nikmat bergerak keluar masuk. Pelanlah agar kita dapat keluar bersama.”
Aku memenuhi harapannya. Bergerak dengan penuh rasa nikmat dalam gerakan
lambat saat aku ingin menusuknya yang terakhir kalinya dengan dalam,
aku menahan diriku. Bola zakarku mengencang untuk pelepasan, penisku
tumbuh lebih gemuk, aku harus melepaskan tali orgasme ini. Pemandangan
dari kedua putriku bersama dengan Ayah mereka, perasaan keduanya yang
membungkusku, mencintaiku, membuatku berakhir, tak bisa lagi
kukendalikan. Perutku mulai mengencang.
“Sayang, Ayah keluar.” aku merasa spermaku bergerak dari dalam tubuhku bersiap untuk meledak dengan tiap tusukannya.
“Keluarlah di dalamku, Ayah. Campurkan dengan milikku.” Aku sudah
menunggu terlalu lama. Kontraksi putriku di sekitar batangku meledakkan
sperma dari penisku.
“Brengsek,” aku mengumpat dalam hati saat aku tetap memompa anak gadisku, mataku terpejam tak menghiraukan dunia ini.
Sebelum sperma terakhirku habis, aku merasa seseorang memegang lengan
tanganku. Itu adalah Endang. Dia berlutut menuju ke pantat adiknya dan
menarikku ke luar. Erna berpaling dengan kelelahan yang terlukis pada
wajahnya dan tersenyum saat kakaknya berkata..
“Aku ingin mencium suamiku dengan rasa dari dua orang yang paling kucintai di dalam mulutku. Adik dan Ayahku tersayang.”
Lalu aku menutup mataku dan merasakan mulut indah lembutnya, memeras sperma terakhir keluar dari tubuhku.
Kamis, 01 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)